Aku Masih Bodoh, Aku Akan Menulis

 

Jujur saja, ada hari-hari di mana saya merasa seperti orang paling tidak tahu apa-apa di suatu tempat. Ketika lagi ngobrol bareng teman-teman, mereka bahas soal filsafat, ekonomi digital, atau bahkan makna hidup dengan membawa dalil Al-Quran. saya cuma nyimak sambil senyum kecut, pura-pura paham.  Padahal, dalam hati saya mikir:  Tadi saya aja lupa meletakkan kunci motor di mana. Gimana mau mikirin teori ekonomi global? Saya sadar satu hal penting yang mungkin orang lain malu untuk akui saya masih bodoh. Masih banyak ilmu yang belom pernah saya ketahui makin lama makin banyak hal-hal baru yang aku jumpai. Tapi saya nggak berhenti di situ.

Saya hilangkan rasa menyesali nasib atau pura-pura pintar di media sosial, saya putuskan untuk menulis.

Kenapa Menulis? Karena menulis itu seperti ngobrol empat mata dengan diri sendiri. 

Ketika saya menulis, saya terpaksa harus berpikir. Saya harus menata ulang isi kepala yang berantakan yang biasanya lebih mirip tempat sampah yang tak pernah dibuang.

Saya harus bertanya:

“Sebenarnya saya ngerti nggak topik ini?”

“Kalau saya jelaskan ke orang lain, bakal masuk akal nggak?”

“Atau malah saya sendiri bingung setelah baca ulang?”

Menulis itu cermin. Dan seringkali, saya baru sadar betapa kusutnya isi pikiran saya setelah saya lihat refleksinya di tulisan. Itu sebabnya saya menulis, bukan karena saya pintar, tapi justru karena saya masih bodoh.

Menulis: Proses Menertawakan dan Memperbaiki Diri

Kadang, setelah baca ulang tulisan lama, saya ketawa sendiri. 

"Bener-bener deh, ini siapa yang nulis? Saya? Masa iya segoblok ini gaya nulisnya?"

Tapi lucunya, saya tidak merasa malu. Saya merasa bersyukur. Karena dari tulisan itu saya bisa melihat proses. Saya bisa melihat perkembangan. Saya bisa menertawakan masa lalu saya, tapi juga berterima kasih karena versi saya yang dulu punya cukup keberanian untuk mulai.

"Kalau bukan karena tulisan-tulisan jelek itu, saya nggak akan sampai di tulisan yang agak mendingan hari ini."

Dunia Nggak Butuh Penulis Hebat, Dunia Butuh Orang Jujur

Di media sosial, kita sering melihat orang nulis dengan kata-kata indah, gaya puitis, atau penuh istilah canggih. Kadang bikin minder.  Tapi saya sadar, tulisan yang paling menyentuh hati justru sering kali yang paling sederhana tapi jujur. Jadi saya nggak berusaha jadi sastrawan. Saya cuma ingin jadi orang yang tulus dalam tulisan. Kalau hari ini saya sedang bingung, ya saya tulis kebingungan itu. Kalau saya lagi belajar sesuatu dan masih belum paham, saya tulis proses belajarnya.  Saya nggak harus terlihat pintar. Saya cuma harus jadi versi saya yang nyata. Dan siapa tahu, di luar sana ada orang yang sedang merasakan hal yang sama—dan merasa terbantu karena tahu dia nggak sendirian.

Aku Menulis, Maka Aku Belajar

 Setiap hari saya menulis, saya belajar sesuatu, Belajar mengenal diri, belajar menyusun kalimat, belajar membangun kebiasaan, belajar berpikir lebih jernih, dan yang paling penting adalah belajar menerima bahwa kebodohan itu bukan akhir, tapi awal, awal dari perubahan, awal dari pencarian makna, awal dari kehidupan yang lebih sadar, dan kuncinya sederhana yaitu menulis. 

Jadi, Kalau Kamu Juga Merasa Bodoh.

Selamat. Kita se-tim. Dan nggak apa-apa.

Asal kamu mau mulai menulis juga. 

Tulis apapun. Tentang keresahanmu. Tentang pertanyaanmu. Tentang hal-hal receh yang kadang lewat di pikiran. Karena dengan menulis, kamu sedang melatih otakmu untuk bekerja. Dan semakin kamu menulis, semakin kamu menyadari bahwa kamu sebenarnya tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Aku masih bodoh, tapi aku akan terus menulis. Sampai tulisan ini sendiri yang membimbingku jadi lebih bijak.

Kamu juga bisa.

Ayo kita belajar bareng-bareng, lewat tulisan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HOMO HOMINI LUPUS. Apakah inilah hakikat manusia?

Paradigma Baru dalam Pendidikan: Perspektif Mahasiswa tentang Perubahan dan Adaptasi dalam Pembelajaran

Telat Lulus Kuliah: Kematangan Berorganisasi atau Fokus Akademik